“BLANK KINO” Bukan Bekas Yang Tersisa Tapi Jejak Yang Terkenang

oleh David Darmadi
Telah dipublish di http://www.visualreteks.wordpress.com pada 07 Agustus 2011

Fotografi tidak menciptakan keabadian, fotografi hanya membalsem waktu, membebaskannya dari kebusukannya sendiri (Andre Bazin)

Pada 3 Mei 2011,  terdapat sebuah pameran lomba foto bertema Heritage, bertempat di ruang bagian depan gedung pertunjukan Hoerijah Adam, Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Seremonial pembukaan pameran yang dihadiri oleh Wakil Wali Kota Padang Panjang, Edwin Anas menjadi sebuah kesempatan bagi panitia untuk menyampaikan keluhan mereka atas kekurangan dana, yang masih belum tercukupi hadiah (berupa uang) untuk perserta yang karya fotonya terpilih sebagai pemenang. Tidak ada yang salah, hanya sedikit miris, jika setiap pembukaan sebuah ‘acara’ yang dihadiri oleh Kepala Daerah atau mewakili dari instansi pemerintahan daerah setempat, interaksi yang disampaikan oleh panitia tidak pernah lepas dari keluhan kekurangan dana. Sehingga pencapaian seperti apa dan kenapa ‘acara’ tersebut diselenggarakan, akan terus berlalu menjadi ‘sesuatu’ yang dipertanyakan.

poster-lomba-foto-fotografi-padang-panjang-heritage

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang bagaimana pembukaan tersebut berlangsung. Karena mengingat, jarak antara saat saya memulai menulis dengan pembukaan sudah tidak update lagi. Tapi ada beberapa hal yang perlu dicatat, saat saya berjalan menyusuri satu persatu karya foto yang dipamerkan. Jika saya memposisikan ‘siapa saya’ sebagai orang awam, saya akan kesusahan untuk membaca kemudian berusaha menafsirkan hingga memahami pesan dari setiap karya foto yang disalurkan kepada saya sebagai pihak penerima. Karena tidak adanya sebuah informasi awal dalam bentuk teks, yaitu ‘judul karya’ yang dapat dibaca.

Tidak adanya judul karya di setiap karya foto yang dipamerkan, mungkin dikarenakan oleh ketidaksiapan atau kelalaian panitia saat sedang display. Jika ditelaah lebih lanjut, pada tahap-tahap tertentu akan memberikan dampak yang cukup fatal. Karena dalam sebuah bangunan struktural foto. …Totalitas informasi diperantarai dan dihadirkan oleh dua bangunan struktural berbeda, yaitu: pada teks, substansi pesan dibangun oleh kata-kata; sementara pada foto, substansi pesan dibangun oleh garis, tekstur, dan warna. [1] Selain judul, substansi teks dapat berupa headline dan artikel penjelasan.

Keduanya saling menyangga atau memperkuat, tapi harus dikaji secara terpisah, karena secara struktural substansi teks merupakan pesan linguistik yang terkadang bersifat parasit yang dimaknai untuk mengkonotasikan substansi foto. Sehingga dari situ kita bisa membaca, bagaimanakah teks mempresentasikan diri, apakah ia mampu menguraikan substansi pada foto atau hanya berusaha menyerupai diri sehingga teks hadir tanpa pengaruh apa-apa sebagai penyangga yang menompang pada substansi foto.

Dan jika di awali dari sebuah pertanyaan yang mendasar, yaitu; ‘seberapa pahamkah ? seberapa dekatkah ? seberapa tahukah ?’ si fotografer terhadap realitas (orang, situs, objek, peristiwa, aktifitas, pemandangan) yang mereka tangkap dengan medium kamera foto. Maka kita akan mendapati sebuah penjelasan, siapakah fotografer yang membekukan realitas tersebut, apakah si fotografer adalah parasit yang sebenarnya yang tidak pernah tahu, bahwasanya selama ini mereka hanya menompang di dalam realitas yang begitu mudah disalin dengan pengetahuan teknis yang mereka kuasai, apalagi pada era digital saat ‘sekarang’.

Saya tidak begitu ingat berapa jumlah foto yang dipamerkan saat itu. Setelah berpindah dari satu foto ke foto lainnya. Mata saya cukup lama tertinggal memandangi satu foto yang terus menerus membayangi pengalaman historis saya untuk segera menuliskannya.

blank-kinoFoto tersebut adalah sebuah salinan realitas akan keberadaan gedung bioskop Karia yang hingga saat ‘sekarang’  masih tetap memproyeksikan citraan seluloidnya dalam ruang sinema yang hanya tinggal seorang diri di kota Padang Panjang setelah bioskop Djaja berubah total menjadi gedung BPD (Bank Pembangunan Daerah).

Jika dibandingkan pengalaman historis saya yang belum genap tiga tahun, sangat belum ada apa-apanya dengan pengalaman historis masyarakat yang hidup di sekitarnya dan bahkan mereka yang menjadi saksi akan berdirinya bioskop Karia di kota Padang Panjang. Tapi representasi kenyataan seperti apa bioskop Karia yang dibingkai oleh Riki Rikarno atau akrab dipanggil Qnoy telah membawa saya berjalan menuju pada ingatan saat saya mengikuti workshop akumassa bersama teman-teman sarueh lainnya yang dibawa oleh Forum Lenteng Jakarta di awal tahun 2009. Ketika itu, bioskop Karia menjadi salah satu narasi dari sepuluh video akumassa Padang Panjang.

Mungkin saya tidak akan membahas foto ini secara teknis ––berapa ISO, kecepatan rana, bukaan diagfragma, hingga lebar lensa yang dipakai. Karena ada sesuatu yang lebih esensial dalam karya foto. Tidak hanya sibuk membahas persoalaan teknis. Dan mereka yang telah memilih untuk menghabiskan atau menyerahkan hidupnya pada fotografi, bukan berarti menyerahkan diri sepenuhnya hanya untuk mempelajari persoalan teknis. Meskipun terkadang perlu melakukan pengolahan seperti reduksi cahaya, penghalusan dan pada dasarnya foto adalah proses penangkapan cahaya saat persoalan teknis itu bekerja.

Tetapi pengolahan seperti itu tidak menyebabkan suatu transformasi [perubahan bentuk] (tidak seperti yang terjadi dalam proses pengkodean). [2] Dan bangunan struktural foto merupakan denotasi telanjang atau turunan langsung dan sederhana dari realitas. [3] Yang kiranya menjadi imaji fotografis yang harus dipahami sebagai sebuah representasi realitas, bukan ilusi yang berkembang pada imaji fiktif fotografer. Dan proses pengkodean pada imaji fotografis juga tidak hanya sekedar bongkar pasang terhadap pemakaian tanda-tanda yang terlihat.

Hubungan antara penanda dan petanda harus dimaknai secara detail dan lebih rinci. Tidak hadir begitu saja. Sangat diperlukan kedekatan emosional serta pengalaman empiris yang benar-benar cair tempat dimana realitas itu dibekukan. Karena kita akan berhadapan dengan gagasan. Gagasan bukanlah realitas yang sekiranya bisa ditinggalkan begitu saja setelah difoto, kemudian berpindah ke realitas lain. Sekalipun realitas tersebut adalah benda mati yang benar-benar mati, seperti bioskop Karia yang difoto Qnoy. Tapi benda mati juga memiliki narasi-narasi yang lahir dari interaksi sosial masyarakat yang dialasi atau diselimuti oleh mitos-mitos kebudayaan yang hidup di sekitarnya atau bahkan bersentuhan langsung.

Bagaimana dengan peristiwa-peristiwa yang berada pada situasi traumatis? Sesuatu yang tidak pernah kita tahu kapan datang, seperti bencana alam, kebakaran, kecelakaan kendaraan dan kejadian nyata yang tidak sengaja ditemui atau disebut magic moment. Bagaimanakah seorang fotografer dalam memposisikan diri saat berada di sana?

Sebelum memposisikan diri perlu dipahami …fotografi tidak menciptakan keabadian, fotografi hanya membalsem waktu, membebaskannya dari kebusukannya sendiri. [4] Saat proses penyalinan realitas dicerabut  secara mekanis (langsung) bukan secara manusiawi. [5] Dan realitas yang ada di dalam foto, bukan realitas sesungguhnya yang telah terbebas dari kematian tapi hanya akan membantu setiap orang mengenang pada masa-masa berikutnya.

Pertanyaan selanjutnya, fotografer harus segera menentukan pilihan. Apakah harus tetap mengambil kamera untuk memoto (jika sempat, cepat, tepat, dapat) kemudian seolah ingin menjadi Kevin Carter (kedua), yang akhirnya bunuh diri–dua bulan setelah menerima penghargaan Pulitzer tahun 1994 ? Atau malah terhipnotis untuk berdiam diri menyaksikannya sampai selesai tanpa berbuat apa-apa ? Atau berusaha menanggalkan image fotografer yang sudah terlanjur melekat pada dirinya, kemudian rasa manusiawi terpanggil untuk tidak melihat saja tapi ikut menyelamatkan, sehingga tidak ada lagi sebuah penyesalan begitu mendalam seperti yang dialami Kevin Carter !!

Pada era digital saat ‘sekarang’––fotografi bukan lagi milik para professional saja. Animo masyarakat meningkat seiring perusahaan kamera besar dunia berlomba-lomba menciptakan inovasi untuk menjadikan kamera bisa digunakan siapa pun dengan cara yang menyenangkan. [6] Qnoy, namanya memang belum tercatat sebagai seorang fotografer professional dalam skala lokal, nasional, atau Internasional, dalam pameran ini fotonya juga hanya terseleksi untuk dipamerkan saja, dan ia juga bukan lulusan diploma atau sarjana program studi fotografi. Tapi dalam fotonya yang diambil sekitar pukul 00.10 wib pada 28 Maret 2011, saya melihat sebuah selektifitas yang cukup terbangun terhadap apa yang difoto.

Saat saya berbincang dengan Qnoy, ia hanya melakukan empat kali pengambilan dengan satu bloking––menggunakan kamera SLR dengan sistem memory card sebagai tempat penyimpanan data. Saya fikir Qnoy bisa memoto lebih dari empat kali pengambilan, mencoba dan terus mencoba, kemudian menyeleksinya setelah semua foto berada di dalam komputer.

Tapi saat saya melihat fotonya lebih lama lagi, posisi body kamera seperti berhadapan pada siku bagian depan––sebelah kanan gedung. Sedangkan lensa kamera seolah tampak sejajar dengan mata orang dewasa yang sedang berdiri. Saya cukup percaya Qnoy melakukan beberapa pilihan, ia memperhitungkan dimana posisi kamera harus bersiap diri untuk statis melihat realitas yang ada di depannya, sebelum ia menyalinnya.

Fotonya terbungkus dengan sederhana, pencapaian estetika tidak begitu mengandalkan olahan photoshop seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang selalu menjadikan kata ‘hobi‘ sebagai perisai terhadap apa yang difoto. Setelah itu menulis namanya dengan embel-embelan ‘fotograph’ dan siap untuk disebarkan di media on-line jejaring sosial facebook. Menunggu, berharap dikomentari dan diberi tanda like this.

Siapa saja bisa melakukannya dan tidak ada larangan. Tapi akan memunculkan kekawatiran jika ini terus berkembang, wajah-wajah generasi digital akan lahir dari proses yang saya sebut “pronstan” yaitu proses instan yang merasa puas setelah menguasai pengetahuan teknis dari segala kemudahan yang terus tersedia di setiap perkembangan teknologi.

blank-kino-2Dalam fotonya, Qnoy hanya memperlihatkan sisi bagian depan dan bagian samping kanan gedung bioskop Karia. Perhatikan sedikit lebih lama, pada sisi bagian atas samping kanan gedung, terdapat sebidang jendela dengan tiga daun jendela, yang bagian tengahnya––jendelanya sedikit terbuka. Pada bagian dalam di balik jendela tersebut, ada sebuah ruangan yang menjadi jantung gedung bioskop ini.

Ruangan itu adalah ruangan projectionist. Sebelum 4 Juni 2009, seorang pria bertubuh kurus, bersuara pelan, menghabiskan waktunya selama 55 tahun di dalam ruangan tempat imaji bergerak itu diproyeksikan. Pria itu bernama pak Udin, ia adalah seorang projectionist bioskop Karia, kakek dari salah seorang anak sarueh–Jelitha Ramadhani. Saya memang tidak memiliki kenangan dengan pak Udin. Sebaris kalimat dari tulisan Jelitha Ramadhani yang dimuat di akumassa.org pada 14 Maret 2010, yang saya penggal lagi, “kakekku sedang terbaring di rumah sakit, sehari setelah pemutaran beliau pusing di pasar dan sempat pingsang.” [7] Kalimat tersebut sungguh membuat bulu kuduk ini merinding saat sepintas ia hadir membayangi imaji fiktif saya.

Pak Udin juga merupakan salah satu narasi video akumassa Padang Panjang, berjudul Projectionist Tua. Sejenak saya berhenti menulis dan menonton video Projectionist Tua. Saya kembali melihat pak Udin, dan sepenggal ucapannya, lagi-lagi membuat bulu kuduk ini merinding. Pak Udin berucap, “dulu penontonnya penuh, apalagi kalau filem Indonesia yang diputar.”

Bioskop Karia berdiri pada tahun 1931. Awalnya terbuat dari papan kayu dan dipugar pada 9 oktober 1974, dengan luas 10×6 meter, dan bisa menampung 700 orang. [8] Sedangkan pak Udin bekerja sebagai seorang projectionist di bioskop Karia sejak 1954. Pada tahun 2000, persebaran VCD/DVD di Padang Panjang sudah mulai gampang diakses masyarakat. Ditambah lagi tidak ada filem-filem baru yang masuk, dikarenakan harga filem seluloid sudah mahal. Terhitung sejak saat itu bioskop Karia mulai sepi dari penonton. Dari tahun ke tahun, penonton yang datang dapat dihitung dengan jari.

Saat umur pak Udin memasuki 70-an, ia masih tetap memutarkan citraan seluloid itu di bioskop Karia. Entah apa yang membuatnya bertahan, meskipun terkadang penonton yang datang hanya ada satu atau dua orang paling banyak. Sedangkan gaji yang diperolehnya tidak kurang dari seratus ribu rupiah setiap bulannya. Saat pemutaran video akumassa Padang Panjang pada 26 Februari 2009, sewaktu Fandi Taufan dan Dani Gombloh (bertindak sebagai MC) menggiringnya ke depan. …Pak Udin menyampaikan pernyataan kagumnya karena sudah sepuluh tahun lebih, ia tidak melihat kursi di bioskop ini terisi penuh dengan penonton.[9]

Seharusnya Pemerintahan kota Padang Panjang memberikan penghargaan pada pak Udin sebagai seorang pahlawan sinema di kota Padang Panjang. Dan pak Udin sangat layak mendapatkannya. Pak Udin adalah pahlawan sinema. Tapi sepertinya percuma saja, pak Udin sudah meninggal dua tahun lalu. Jika pak Udin masih hidup yang kira-kira umurnya sudah ¾ abad, mungkin ia tidak butuh penghargaan, ia hanya ingin masyarakat Padang Panjang masih tetap datang menonton filem-filem kesukaan mereka di bioskop Karia.

Sebidang jendela dengan tiga daun jendela yang saya dapati dalam foto ini, adalah imaji denotatif yang memang sudah menjadi bagian dari gedung bioskop Karia. Sedangkan daun jendela yang bagian tengahnya tampak sedikit terbuka adalah realitas yang ada di sana (pada realitas) dan ketika Qnoy menghadirkannya dalam foto hanya menjadi realitas telanjang dan sama sekali tidak memberikan pesan yang terkodekan.  Tapi lewat pengalaman historis yang pernah bersentuhan di dalamnya dapat menguraikan narasi-narasi kecil yang tidak terlihat di dalam foto, seperti narasi tentang almarhum pak Udin.

blank-kino-3Perspektif datar [10] yang tampak dalam foto ini terdapat tiga komponen imaji yang dibentuk oleh garis, tekstur, warna. Komponen pertama adalah langit yang gelap, kedua gedung bioskop Karia dengan perkarangannya dan di belakang gedung ada sebaris pagar dengan tembok bercat putih –di dalamnya ada mobil berwarna hitam. Dan komponen ketiga adalah ruas jalan.

Ketiga komponen dipertemukan dengan tanda-tanda yang saling keterhubungan dan dimaknai dengan tiga lapisan pesan berbeda yang melekat pada masing-masing imaji—fotografis. Masing-masing pesan telah terstrukturalkan berupa pesan tak terkodekan dan pesan terkodekan. Baca—tafsir yang dilakukan harus murni dengan kesadaran yang tidak bersifat fiktif, tapi kesadaran antara apa yang sudah ada di dalam foto dengan apa yang masih ada dalam realitas—sebelum dan sesudah; realitas tersebut dibekukan.

Komponen pertama, langit yang gelap, merupakan imaji denotatif sebagai penanda temporal waktu—siang—malam—yang selalu berganti di setiap keseharian. Komponen ketiga (komponen kedua saya tinggalkan sebentar) saya memulainya dengan garis vertikal berwarna merah yang sejajar dengan ruas jalan. Sepertinya bias dari cahaya lampu kendaraan yang melintas. Jika diperhatikan sedikit lebih lama, garis vertikal berwarna merah hanyalah imaji parasit yang tidak diinginkan hadir di dalam foto. Sedangkan ruas jalan yang dibentuk dengan perspektif satu titik hilang dan garis zebra cross pada ruas jalan—tidak diperlihatkan secara keseluruhan—adalah imaji denotatif yang sudah diperhitungkan sebagai pesan terkodekan.

Garis vertikal berwarna merah pada komponen ketiga, bisa kita perkirakan, sudah lewat tengah malam, masih ada kendaraan yang melintas di sekitar sana. Apalagi kalau malam sudah selesai, cukup banyak kendaraan lalu lalang yang datang dari dua arah. Dan pada ruas jalan juga disediakan garis zebra cross khusus untuk pejalan kaki yang ingin menyeberang. Penanda yang tidak begitu rumit, komponen ketiga adalah indentifikasi tempat, bahwa gedung bioskop Karia terletak di jantung kota.

Pada komponen kedua, terlihat gedung bioskop Karia dengan perspektif dua titik hilang yang sudah rusuh, lusuh tapi masih menampaki kemegahan bangunannya yang bergaya artdeco (gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II) yang membelakangi sebaris pagar dengan tembok bercat putih. Bagian depan, pekarangan yang cukup luas selalu siap menunggu kendaraan-kendaraan untuk parkir di depan sana. Pada bagian bawah samping kanan gedung, berjejer kursi dan meja yang tersusun rapi dan merapat ke dinding. Sebelahnya, pada siku dinding, kotak merah persegi panjang yang dibusanakan dengan kain terpal berwarna biru berdiri tegak seolah berhadapan mengintai lensa kamera.

Imaji denotatif yang tidak dikodekan. Saat di dalam foto telah menjadi realitas telanjang, dengan petanda yang telah lebih dulu dikodekan (pada realitas) oleh orang yang menyusun kursi, meja, dan kotak merah persegi panjang dengan rapi. Petanda tersebut dihujani oleh teks sebagai petanda lain yang sepertinya sengaja melekat pada imaji. Teks yang tertulis; Bakso—Pak De dan Cocacola merupakan pesan linguistik yang tidak ingin menjadi parasit tapi berupaya mengidentifikasi aktifitas penamaan.

Pada realitas, kursi, meja, dan kotak merah persegi panjang dengan teks yang tertulis menginformasikan terutama bagi orang yang pertama kali lewat di sekitar sana, setelah malam—bisa saja pagi, siang, atau sore—kalau di sini ada kedai bakso Pak De (Pak De bisa diartikan nama pemilik kedai bakso dan bisa juga sebagai nama kedai bakso) yang berjualan setiap harinya. Dan penambahan teks cocacola, dengan sangat sadar pemilik bakso seolah ingin bergantung untuk menarik pembeli. Karena teks cocalcola sudah sangat familiar bagi masyarakat.

Sedangkan pada foto, kedai bakso Pak De tampak kelelahan bersandar pada dinding bioskop Karia dan juga menjadi dinding kedai saat pembeli datang dan duduk makan di sana. Dalam hal pemilihan tempat, bakso Pak De memiliki starategi dagang yang  cukup matang, ia berjualan di sebelah dinding bioskop Karia yang terletak di tengah keramaian kota. Besar ruangan yang siap menampung 700 penonton, berharap sekitar 25% dari penonton yang datang kemungkinan akan singgah untuk makan bakso sebelum atau setelah menonton. Atau mungkin pada saat ‘sekarang’ perkiraan itu berbanding terbalik, dinding-dinding bioskop Karia tampak kelelahan menunggu pembeli bakso Pak De untuk membeli tiket dan mengajak teman, kerabat, tetangga, keluarga mereka menonton filem di bioskop Karia.

blank-kino-21Petanda estetis dalam fotografi terletak dalam pembeberan kenyataan.[11] Setiap lampisan pesan pada imaji fotografis akan bersifat kontinyu [polos,telanjang].Yang kemudian diselesaikan oleh pesan-simbolik-ketiga. Saya fikir, Qnoy melakukanya dengan cukup baik. Dan salah satu letak keberhasilannya adalah ia cukup selektif ketika mengkodekan imaji fotografis dalam bingkaiannya. Pertimbangan dengan tidak menghadirkan satu orangpun di dalamnya. Sadar atau tidak sadar sekiranya Qnoy telah mengkodekan petanda estetis pada fotonya, yang mampu merepresentasikan pesan ketiga (pesan ‘simbolik’, denotatif) untuk memaknai realitas kekinian bioskop Karia.

Bioskop Karia adalah milik seorang pengusaha yang tinggal di kota Padang, bernama Wariko Angriawan. Yang dibangun oleh kakeknya. Tidak pernah jelas apa alasan Wariko sampai saat sekarang mempertahankan bioskop ini tetap aktif. Apakah ia menunggu harga tanah sudah menjulang tinggi baru menjualnya atau ia harus befikir dua kali untuk meruntuhkannya karena peninggalan kakeknya. Atau karena Wariko memiliki kencintaan terhadap ruang sinema ini. Jika memang iya, kenapa Wariko membiarkan bangunannya selalu sepi tanpa orang yang berkunjung ?

Pada tahun 2009 ada sepuing cerita yang menggelitik hasrat saya terhadap filem. Saat itu satu tiket seharga Rp.7.500. Dengan jadwal tayang satu kali dalam seminggu, setiap hari Jumat, pada pukul 14.00 wib dan pukul 20.00 wib. Sehabis magrib saya bersama teman-teman sarueh lainnya dan fasilitator akumassa Padang Panjang pergi menonton filem di bioskop Karia. Saya tidak mengira, ternyata bioskop ini punya penonton setia. Kalau saya tidak salah ingat, ada sekitar empat orang. Mereka setiap hari Jumat selalu datang untuk menonton filem.

Yang membuat saya sangat kaget, salah satu dari mereka adalah seorang pengemis tua yang setiap sore selalu saya jumpai duduk meminta di trotoar sebelah gedung M.Syafei Padang Panjang. Saya berbincang dengannya, dan memposisikan diri saya sama-sama sebagai penonton. Pengemis tua bercerita, sewaktu masih muda ia selalu datang menonton filem bersama teman-temannya. Sekarang ia hanya datang sendiri dan tidak ada orang yang tahu kalau ia datang ke sini. Dan orang-orang juga tidak peduli kenapa ia harus menonton filem.

Tapi sangat disayangkan, saya juga tidak menanyakan kenapa ia masih datang untuk menonton filem. Saya hanya bisa mengira-ngira. Mungkin saat ia berada di ruang sinema, pengemis tua tidak merasa sendiri, karena ia seperti sedang menonton bersama teman-temannya. Perkiraan yang sedikit naif dan fiktif.

Dan terakhir saya datang ke bioskop Karia bulan Juni 2011 pada hari Jumat. Saya dan teman-teman sarueh lainnya dengan bangga mengajak Kristyna, Rita dan Jackie (darmasiswa ISI Padang Panjang) kalau Padang Panjang juga punya gedung bioskop. Tapi kami kurang beruntung dan mendapat kabar yang sedikit miris. Kalau pak Edi projectionist baru yang menggantikan pak Udin, sudah sepuluh menit lalu pulang ke rumah karena berfikir tidak akan ada penonton yang datang. Dan pengemis tua itu juga sudah tidak ada lagi, saya tidak tahu dimana ia sekarang.

Setelah berbincang dengan Qnoy, saya baru tahu foto ini berjudul “Blank Kino”. Pesan linguistik pada substansi teks yang dihadirkan Qnoy, tidak begitu menjadi parasit. Tapi cukup bisa membungkus semua pesan dalam imaji fotografis yang dibekukan Qnoy.

Proses pertandaan selalu dibangun oleh masyarakat dan sejarah yang nyata. [12] Bioskop Karia memiliki sejarah realisme yang panjang, banyak aspek yang terkandung di dalamnya, serta banyak sentuhan narasi-narasi kecil yang hidup di sekitarnya. Bioskop Karia juga menjadi sesuatu yang sangat penting dalam sejarah dan perkembangan sinema di Indonesia, khususnya di Padang Panjang.  Dan baca—tafsir yang saya lakukan, masih sangat sedikit sekali dari apa yang belum teruraikan.

Tapi saya ucapkan selamat dan terimakasih pada Qnoy. Meskipun “Blank Kino” tidak menyelamatkan bioskop Karia dari keruntuhannya, tapi pada masa depan yang terus datang, apakah pak Wariko Angriawan mempertahankan atau merelakan bioskop Karia dengan alasan-alasan tertentu yang akhirnya bernasib sama seperti gedung bioskop Djaja. Setidaknya “Blank Kino” telah memberikan sebuah kenangan yang dapat dibaca—tasir ulang oleh orang-orang yang memiliki pengalaman historis dengan bioskop Karia atau mereka yang jatuh cinta pada sinema.

“Blank Kino” bukan bekas yang tersisa tapi jejak yang terkenang.

blank-kino2***

  1. Barthes, Roland.2010.  Imaji, musik, teks. Yogyakarta: Jalasutra, 2
  2. Barthes, Roland, 23
  3. Barthes, Roland, 14
  4. Bazin, Andre.1996. Sinema, Apakah Itu ?. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 5
  5. Barthes, Roland, 32
  6. Ramadan, Rizki. Ketika Penderitaan Menjadi Objek Wisata Pehobi Fotografi. http://jarakpandang.net/blog/?p=580 diakses pada tanggal 17 Juli 2011 pukul 20.18 wib
  7. Ramadhani, Jelitha. Projectionist di Bioskop Tua Padangpanjang. http://akumassa.org/program/padang-panjang-sumatera-barat/projectionist-di-bioskop-tua-padangpanjang/ diakses pada tanggal 15 Juli 2011 pukul 20.00 wib
  8. Nurani, Puji. Bioskop Karia di Padangpanjang. http://akumassa.org/program/padang-panjang-sumatera-barat/bioskop-karia-di-padangpanjang/ diakses pada tanggal 15 Juli 2011 pukul 20.00 wib
  9. akumassa. Pemutaran 10 Karya Video di Gedung Bioskop Tua Padangpanjang. http://akumassa.org/program/padang-panjang-sumatera-barat/pemutaran-10-karya-video-di-gedung-bioskop-tua-padangpanjang/ diakses pada tanggal 15 Juli 2011 pukul 20.00 wib
  10. Seniman-seniman besar era Renaisans sewaktu itu belum mengerti tentang perspektif. Setelah ditemukannya kamera Obscura oleh Ibn Al-Haytham (Alhazen) di Persia—seniman telah didekatkan dengan objek lukisnya sehinga memudahkan mereka melihat perspektif dalam bidang datar untuk melukis. (bahan ajar untuk fasilitator workshop akumassa dari Kordinator program akumassa)
  11. Bazin, Andre, 5
  12. Barthes, Roland, 14

***

Riki Rikarno akrab dipanggil Qnoy. Salah seorang pendiri UKM Mapala Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Tercatat sebagai Sarjana Seni dengan program studi Seni Kriya pada Juni 2010 di ISI Padang Panjang. Kertarikannya terhadap dunia visual, Qnoy melanjutkan sekolahnya di ISI Padang Panjang dengan program studi Penciptaan Film.

Tinggalkan komentar