Sebuah Cerminan: Saat-Saat di Images Festival bersama Hafiz

oleh David Darmadi
Telah dipublish di http://www.visualreteks.wordpress.com pada 05 Oktober 2011

 ”Festival Filem itu harus menjadi corong bagi masyarakat tempat ruang festival itu dilaksanakan, meskipun karya-karya yang ditampilkan bisa berasal dari mana saja, tapi karya-karya tersebut harus bisa merefleksikan fenomena atau isu yang sedang berkembang dalam masyarakat tersebut. Jadi festival filem tidak hanya sekedar seremonial tempat berkumpul para pembuat filem saja.” Hafiz (Festival Director OK.Video Jakarta Internasional Video Festival) Toronto, Canada, March 30 2011

Salju sudah mulai mengabsenkan diri, tapi tetap saja rasa dingin tidak mau menepi walau hanya sebentar. Tapi sore itu ruangan Scott Miller Berry, Direktur Images Festival yang bertempat di 401 Richmond Street West, Suit 448 terasa cukup ramah untuk menghangatkan tubuh aku dan Hafiz. Sambil menikmati secangkir kopi pahit yang entah siapa yang membuatnya, Scott menjelaskan tentang peta kota Toronto yang diberikannya. Peta tersebut dibuat oleh John Porter, seniman asal Toronto.

Kedatangan kami ke ruangannya adalah untuk menanyai beberapa pertanyaan tentang akumassa di Images Festival. Dan satu pertanyaan dipesan langsung oleh Otty Widasari, Kordinator Program akumassa.org yang ikut menjadi pertanyaan pamungkasku. Setelah selesai wawancara, karena Scott masih ada kerjaan dan di dalam ruangannya tidak bisa merokok, kami turun ke bawah dan bersantai di samping pintu masuk.

david-darmadi-saat-wawancara-scott-direktur-images-festival1Sambil memperhatikan mobil yang lalu lalang di jalur sebelah kanan, rabu sore (30/03) sebelum aku melihat Pre Opening Festival. Duduk berdua dengan Hafiz, tidak kusia-siakan untuk menanyakan tentang apa itu festival filem. Dan berada di dalam ruang festival filem bagiku adalah kala pertama, itupun festival filem Internasional, dan aku merasa sangat beruntung. Sebelumnya, hanya karya visualku yang berjudul “Digital Native Padang Panjang: Reflection akumedium” yang diputar di beberapa festival filem di Indonesia dan ikut dipamerkan dalam rangkaian program Digital Native di Arhus Kunstbygning Center, Denmark. Sewaktu pertama aku mengirimkan filemku, yang ada di benakku, festival filem adalah sebuah ajang kompetisi dan sebagai tolak ukur seorang pembuat filem dan video dalam berkarya. Tapi kuyakin pasti ada esensi lain di balik kemeriahan perhelatan festival.

Sambil menghisap rokok samsu yang dibawanya dari Jakarta, Hafiz menjawab pertanyaanku. “Festival filem itu harus menjadi corong bagi masyarakat tempat ruang festival itu dilaksanakan, meskipun karya-karya yang ditampilkan bisa berasal dari mana saja, tapi karya-karya tersebut harus bisa merefleksikan fenomena atau isu yang sedang berkembang dalam masyarakat tersebut. Jadi festival filem tidak hanya sekedar seremonial tempat berkumpul para pembuat filem saja.” Lalu Hafiz menceritakan tentang bagaimana ia mendirikan OK Video: Jakarta Internasional Video Festival.

Sejak dari tahun 2000 ia merintisnya, pergi ke beberapa kota untuk melakukan sosialisasi dan memberikan workshop mengenai video. Pada tahun 2003, baru OK Video siap diluncurkan sebagai festival dengan skala Internasional. Waktu yang tidak sebentar, tidak hanya sebatas festival video, tapi dapat dikatakan sebagai festival kebudayaan yang berhasil mencatat fenomena sosial masyarakat. Hafiz memperhitungkan dengan sangat sistematis apa yang dibuatnya. Dan tidak heran, setiap orang yang kutemui di Images Festival, mereka begitu apreaciated saat tahu kalau Hafiz merupakan pendiri OK Video. Artinya, OK Video sangat diperhitungkan dalam skala Internasional, dan menjadi salah satu festival yang sangat penting di Indonesia.

Tiga hari sebelum berangkat ke Toronto, Mahardika Yuda (Diki), Koordinator Litbang Forum Lenteng, pernah bercerita denganku tentang festival filem dan video. Saat itu kami sedang berada di atas kereta api. Suara serentak berulang dari laju kereta mengiringi pembicaraan kami, Diki menjelaskan tentang lima hal yang paling mendasar yang harus diperhatikan dalam menggagas festival filem dan video: Ruang/Tempat, Publik/Masyarakat, Seniman, Arsip, dan Jaringan. Kelimanya saling berkaitan dan harus saling menguatkan satu sama lainnya. Jika satu lemah, festival filem hanya akan menjadi seremonial belaka. Dan semuanya itu harus butuh riset yang panjang, untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada kemudian meramunya menjadi festival filem dan video.

Sepertinya rokok samsu Hafiz, masih ada beberapa kali hisapan lagi. Tapi jam setengah 7 di sini masih tetap terlihat sore, mungkin matahari masih ingin menemani kami bercerita. Karena Scott, sudah datang menghampiri, aku harus membiarkan matahari untuk meninggalkan kami dan menyapa teman-temanku di Indonesia. Kemudian kami bertiga berjalan ke tempat Pre Opening Festival yang diselenggarakan di gedung TIFF (Toronto International Film Festival) Bell Lightbox yang tempatnya tidak jauh dari Images Festival. TIFF Bell Lightbox adalah bioskop terbesar non komersil di Toronto yang disupport oleh banyak funding.

TIFF Bell Lightbox didirikan khusus didedikasi untuk orang-orang pencinta filem dari seluruh penjuru dunia. Pada September 2011, TIFF Bell Lightbox diresmikan penggunaannya bersamaan dengan Toronto Internasional Film Festival 2011 (merupakan salah satu festival filem terbesar di Amerika Utara selain Oscar) yang bertempat di 350 King Street West. Dan Images Festival mendapat kesempatan menggunakan gedung baru ini untuk mempresentasikan beberapa programnya. Kemudian dalam pembicaraan kami, Hafiz memberitahuku tentang impiannya untuk mendirikan bioskop seperti ini di Indonesia.

Pada Pre Opening Festival, Images Festival mempersembahkan Radical Light -Landscape As Expression sebagai Special Bonus Screening. Tepat jam 7 malam, bulu kudukku perlahan merinding, saat cahaya itu muncul mengenai layar putih yang ada di depan penonton. Aku merasa beruntung berada di ruang sinema yang dipenuhi oleh orang-orang yang sangat mencintai filem. Tidak ada satupun yang keluar hingga filem selesai, mereka duduk dengan khusyuk, memperhatikan setiap rangkaian frame yang diproyeksikan.

penonton-ruang-sinema-di-tiffKuakui semua filem yang diputar tersusun dengan bahasa visual yang sama sekali tidak kudapati atau kupelajari di tempatku  kuliah-Jurusan Televisi dan Film, Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Aku tidak tahu kenapa. Padahal penonton yang datang, selain sebagai aktifis seni mereka juga banyak berprofesi sebagai seorang dosen. Seperti Oliver Husein, pembuat filem asal Jerman dan menetap di Toronto, ia adalah seorang dosen di Ontario College Of Art and Design, yang merupakan satu-satunya kampus seni di Toronto. John Gianvito, salah seorang sutradara, kritikus filem, dan kurator yang fiemnya lolos seleksi dengan durasi yang paling panjang yaitu 4 jam, ternyata dia adalah seorang Profesor di University of Massachusetts/Boston, Rhode Island School of Design, dan Boston University.

Kemudian Peggy Ahwesh, seniman asal New York yang kujumpai saat undangan makan malam dari Scott di The Gladstone Hotel, yang bertempat di 1214 Queen Street West, sehari sebelum Pre Opening Festival, ia juga seorang dosen di salah satu sekolah seni di New York. Dan juga Ben Donoghue, temannya Oliver, yang menyempatkan untuk hadir dari segala kesibukannya sebagai seorang produser tv swasta di Toronto dan sutradara filem. Artinya, semua filem yang diputar menjadi sangat penting dan menjadi standar akademik sekolah filem dan televisi. Hafiz juga bilang, “setiap sekolah filem wajib memperlajari sejarah filem dengan benar.” Saat kutanya pada Oliver, mata kuliah sejarah filem menjadi hal yang utama bagi sekolah filem dan itu harus diajarkan sampai tuntas.

Semua filem yang diputar sangat bagus dan sangat tidak biasa. Tapi aku hanya akan mereview filem-filem yang berkesan dalam ingatanku. Pada Pre Opening Festival, jumlah filem diputar sebanyak 9 judul. Filem pertama berjudul A Trip Down Market Street. Dibuat oleh Miles Brothers, yang merupakan para perintis Bioskop Amerika dan mereka juga mendirikan salah satu bursa filem pertama di Amerika Serikat.

Pada tahun 1906, dari atas Trem dengan kamera filem 35 mm, Miles Brothers merekam kota San Francisco selama 12 menit di sepanjang jalan Down Market Street. Bisa dibayangkan kamera filem 35mm, melintas di tengah keramaian kota pada zaman itu, sedangkan saat sekarang kamera video yang ukurannya sudah ada sebesar tangan, masih tetap terasa asing jika berada di tengah massa. Saat kutahu, setelah rekaman itu diambil, pada April 1906 kota San Francisco diguncang oleh gempa dengan kekuatan 8,25 SR, tiba-tiba images tentang gempa 30 September di kotaku, kuputar kembali dalam ingatanku. Meski tidak utuh, hanya visual dan tanpa suara, peristiwa sebelum, saat, sesudah guncangan itu dengan jelas kuproyeksikan dari memoriku. Ingatan itu seperti ruang sinema yang hanya bisa kutonton seorang diri.

Filem terakhir, yang berjudul Side/Walk/Shuttle yang dibuat oleh Ernie Gehr dengan kamera filem 16 mm. Selama 41 menit, aku melihat tata kota San Fransico saat tahun 1991. Rangkaian images yang dibangun Ernie terasa sangat puitis sekali. Ia begitu paham dengan seluk beluk gedung-gedung yang ada di kota San Fransisco. Ernie mengambil gambar dari dalam lift, tidak ada pergerakan kamera, ia hanya memanfaatkan pergerakan lift dari bawah ke atas dan sebaliknya, dan pengambilan gambar dilakukan dengan tidak sewajarnya. Sehingga posisi setiap gedung tampak seperti tidak berjarak dan saat terjadi pergerakan tampak semua gedung-gedung hampir seperti saling bertabrakan. Setelah selesai menonton, Hafiz memberitahuku, bahasa visual dalam filem ini adalah kebalikan dari bahasa visual yang dipakai dalam video akumassa. Keputusan pengambilan gambar yang dilakukan oleh Ernie ditentukan oleh mata kamera, sedangkan video akumassa ditentukan oleh keberadaan logika mata manusia.

Kemudian saat Pre Opening Party, setelah Pre Opening Festival, Scott bercerita kalau filem Side/Walk/Shuttle dibuat selama satu tahun lebih, dan shoting dilakukan dengan diam-diam. Bisa kita perkirakan seperti apa usaha yang dilakukan Ernie, saat keluar masuk gedung dan berada dalam lift dengan kamera filem 16mm yang selalu ada bersamanya.

Kamis (31/03), inilah yang kutunggu-tunggu, pembukaan festival, dengan tema Opening Night Gala. Sekitar jam setengah 6, antrian penonton yang cukup panjang berdiri di sepanjang trotoar, tampak tersusun rapi dari seberang jalan untuk bisa masuk ke dalam gedung bioskop The Royal. Gedung The Royal dibangun pada tahun 1939, di 608 College Street dengan 450 kursi yang dikenal sebagai Pylon sewaktu pertama kali dibuka.

antrian-penonton-di-sepanjang-trotoart-untuk-masuk-bioskop-the-royal2stiil-filem-rivers-and-my-father1still-filem-rivers-and-my-father-11Filem Rivers and My Father yang disutradai oleh Luo Li, sutradara asal Cina dan menetap di Canada, dipilih sebagai film pembuka dan menjadi salah satu filem favoritku. Luo Li adalah sutradara asal Cina dan tinggal menetap di Canada. Film ini merupakan representasi kehidupan Luo Li dan keluarganya yang memiliki segelimang ingatan di sepanjang sungai Yangtze. Dalam filem ini, Luo Li tidak hanya berhasil mendokumentasikan cerita sejarah keluarganya dengan sangat filmis. Narasi besar tentang sungai Yangtze sebagai sungai yang terpanjang di Cina dan di Asia, ia juga berhasil membungkusnya dengan narasi-narasi kecil tentang kenangan masa lalu keluarganya. Sehingga di sini sejarah tidak lagi didominasi oleh peristiwa besar dan tokoh-tokoh kuat, tapi sejarah juga bisa ditulis dari ingatan dan representasi kehidupan orang-orang biasa.

Saat di awal filem, kukira percakapan Luo Li dengan seorang karyawan di York University yang akan pensiun, ini adalah filem dokumenter. Tapi setelah 72 menit kutonton filem Rivers and My Father, perkiraanku telah terbantahkan. Saat dipertengah filem, Luo Li telah mengaburkan pemahamanku akan kebenaran realitas sebuah filem dokumenter. Narasi yang langsung diucapkan Luo Li, kalau ia mengirimkan filemnya dalam bentuk keping DVD ke ayahnya yang berada di Cina. Setelah filem tersebut ditonton—ayahnya mengirimkan email pada Luo Li tentang beberapa kesalahan di dalam filemnya, seperti tahun. Dan ayahnya juga mengatakan kalau filem anaknya terasa aneh saat ia tonton. Dan ayahnya juga mengkritik beberapa kontruksi adegan yang tidak sesuai dengan kenyataan ingatannya. Semua isi surat dari ayahnya, hadir pada pertengahan durasi.

Di akhir filem, konsentrasi penonton serta merta dipecahkan oleh permainan bahasa visual Luo Li. Beberapa kontruksi adegan yang dilakukannya, seperti seorang anak laki-laki bersama seorang perempuan berjalan menaiki tangga dan tiga orang anak laki-laki berjalan di sepanjang tepi sungai dihadirkan dengan repetisi yang berulang, bahkan adegan yang salah juga dimasukan. Repetisi yang dibuat sama sekali tidak untuk mengulur waktu atau menambahkan durasi filem. Tapi seperti sebuah penjelasan bahwa kenyataan dalam sebuah dokumenter adalah kontruksi adegan yang telah terjadi penyalinan oleh subjektifitas pembuat terhadap realitas.

George Franju—seorang sineas Prancis dengan jelas menyatakan, saat ia membuat sebuah dokumenter, ia akan mencoba untuk memberi realisme satu segi artificial atas dokumen itu… Ini akan menjadi indah dibanding realisme karena itu harus dikomposisikan. Kita harus mencipta-ulang realitas karena realitas berlalu menjauh; realitas mengelakkan realitas itu sendiri.

Sedangkan Toshio Matsumoto—seorang sineas Avant Gard Jepang, saat ia membuat filem dokumenter tentang penarikan anak sekolahan di desa pegunungan Kotamadya Iwate untuk jadi kuli panggul di kota setelah tamat sekolah berjudul Children Calling Spring (“Haru o yobu kora,” 1959), timbul semacam kegusaran olehnya yang mempertanyakan—seberapakah nilai di luar filem menciptakan dengan sendirinya sebagai sebuah filem dan bagaimana orang bisa menetapkan nilai karya pada daya ekspresif dengan realitas sinema sebagai sinema itu sendiri, selain bersandar pada perbandingan antara filem dan realitas. Dan hal ini dapat menunjukan bahwasanya nilai realitas dokumenter tidak akan pernah sama dengan nilai realitas saat sebelum dicerabuti oleh gagasan.

Setelah pada durasi email yang dikirim ayahnya, Luo Li menghancurkan imaji fiktif penonton yang telah terbangun saat di awal—pengambilan gambar saat proses shuting, dimana suara Luo Li terdengar jelas berinteraksi saat mengarahkan pemainnya, menjadi bagian utuh dari dalam filem. Eksprementasi  bahasa visual yang dilakukan Luo Li, seperti tidak ingin mengotakan antara kebenaran fiksi dan dokumenter.

Senin (04/04) ada 8 filem yang diputar dengan tema Disorientation Express. Pada filem kedua berjudul Greyhound Track karya sutradara Mike Hannon, asal Ireland telah mengheningkanku dalam ruang Jackman Hall (ruang sinema yang berada di dalam Art Gallery of Ontario) yang berada di 317 Dundas Street West. Ingatan saat februari 2009, menanyaiku tentang apa yang kupelajari saat workshop akumassa.org. Aku mengira kalau Mike Hannon adalah partisipan akumassa Ireland, fikirku becanda.

Karena bahasa visual yang dikomposisikannya saat merekam balap anjing di Gulf Greyhound Park persis dengan bahasa visual video akumassa. Dengan bantuan tripod, gambar statis, tanpa ada pergerakan kamera, dan sangat tenang, Mike Hannon begitu disiplin dengan pilihan-pilihan bingkaian yang sudah ditentukannya. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan momen atau peristiswa yang terjadi di luar frame saat sedang merekam. Setelah 16 menit berlalu aku menonton balapan anjing, Hafiz memberitahuku ada video akumassa Irlandia di Images Festival, guraunya.

stiil-filem-greyhound-trackSetelah semua filem diputar, Pablo De Ocampo, Artistic Director Images Festival memoderasi jalannya diskusi. Ada yang menarik, pertanyaan dari salah satu penonton yang ditujukan untuk sutradara Brigid McCaffrey asal USA dengan karyanya Castaic Lake-28 menit.

“I think, using video camera for the picture you have been taking for two years in the artificial Shasta Lake, is enough. But why do you have to use 16mm film cameras?”

(“Saya fikir, gambar yang anda ambil selama dua tahun di danau buatan Shasta Lake, California cukup menggunakan kamera video saja. Tapi kenapa anda harus memakai kamera filem 16mm?”)

“Because if I’m carrying a 16mm film camera, I would highly selective for the record,” said Brigid.

(“Karena kalau saya menggunakan kamera filem 16mm, saya akan sangat selektif untuk merekam,” jawab Brigid.)

still-filem-castaic-lake2Kemudian Hafiz berbisik padaku, “walaupun kita tidak mengunakan kamera filem 16mm, kita juga harus sangat selektif untuk merekam apa yang kita lihat. Jadi jangan mentang-mentang kita sudah menggunakan digital, kita dengan seenaknya merekam dan memoto tanpa memperhitungkan segala sesuatunya.”

Pernyataan Hafiz menjadi lebih menarik bagiku. Dan terdengar seperti kritikan untuk generasi digital saat sekarang, yang selalu memutuskan untuk menyeleksi gambar-gambar yang diambil ketika sudah di dalam komputer.

Semua rangkaian program Images Festival, tidak hanya pemutaran filem di dalam ruang sinema. Semua karya yang dipresentasikan, juga tidak hanya filem, tapi media yang digunakan sudah lintas disiplin, mungkin inilah yang disebut dengan Seni Media Baru. Secara keseluruhan program-program Images Festival dibagi menjadi 5: On Screen, Off Screen, Live Images, Artis Talk/ Education, dan Party.

On Screen merupakan pemutaran filem dalam ruang sinema. Of Screen: karya-karya yang tidak hanya video saja, tapi juga tek, foto, IT, dll dipamerkan di ruang galeri. Live Images: video performance dan instalasi musik performance. Artis Talk/Education: Diskusi dan Workshop. Terakhir party: bukan hanya pesta tempat saya menikmati Red Wine setiap usai acara tapi semua seniman dan undangan dipertemukan untuk saling berjejaring. Mereka semua saling berkenalan, menceritakan tentang apa saja project yang sudah mereka kerjakan, dan membuat rencana selanjutnya. Sehingga pertemuan saat dalam kemeriahan festival tidak selesai sebatas seremonial.

Images Festival adalah pengalaman pertamaku berada di perhelatan festival filem Internasional. Pada 6-17 Oktober 2011 OK.Video Jakarta Internasional Video Festival kembali di gelar di Galeri Nasional Indonesia dengan tema Flesh yang diambil dari refleksi perjalanan Festival OK. Video yang sudah berlangsung sejak tahun 2003, sebagai usaha merumuskan “video” sebagai bidang seni yang mandiri, baik secara pengetahuan maupun secara estetika, dalam mengembangkan khasanah video di Indonesia.

Sungguh suatu kebanggaan bagiku—Digital Native Padang Panjang; Reflection akumedium terpilih pada salah satu rangkaian program OK.Video Flesh—Privat-Public yang dikuratori oleh Mahardika Yudha dan Rizki Lazuardi—untuk melihat kaitan antara video dan pergeseran ruang-ruang social (antara yang privat dan yang public), serta sejauh mana batas di antara keduanya terus berubah dan berkembang. Pengalaman ke dua ini tidak akan aku sia-siakan untuk belajar lebih banyak lagi untuk mengembangkan seni video di Padang Panjang, Sumatra Barat.

david-darmadi-dan-hafiz

Tinggalkan komentar