Representasi Visual sebagai bentuk Kontruksi Sejarah

Tulisan ini adalah rangkuman dari dua buku: VIDEOBASE (Forum Lenteng, 2009) dan VIDEOKRONIK (Kunci&EngageMedia, 2009) serta tinjauan pustaka lainnya —yang  berhubungan dengan isian tulisan yang telah didiskusikan oleh “Sarueh bacabuku” selama dua minggu penuh.

oleh David Darmadi, Novian Arif, Harryaldi Kurniawan
Telah dipublish di http://www.visualreteks.wordpress.com pada 13 Juni 2011

Sejarah bukanlah realitas atau kejadian-kejadian, melainkan representasi atas realitas atau kejadian-kejadian itu. Sebelum gambar-gambar, sejarah hanyalah apa yang tertulis. Itu bukanlah sejarah yang sebenarnya dalam wujud konkritnya. Sejak penciptaan fotografi, dan kemudian penciptaan sinema, hingga hadirnya televisi sejarah bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang tertangkap oleh gambar-gambar. (Jean-Gabriel Periot, 2011) [1]

tanya-sama-papa-sajaJika sejarah dibawa ke dalam studi media massa, yang diawali dengan  kemunculan “teknologi” dari Gutenberg sampai Internet. Pernyataan di atas yang diungkapan oleh seniman video asal Perancis ––yang menggunakan arsip sebagai bahan artistik visualnya tapi sebaliknya ia tidak percaya terhadap arsip ––dapat memperlihatkan relevansi sejarah terhadap masa depan bukanlah realitas yang benar-benar tampak pada saat ‘sekarang’.

Dalam paruh pertama abad ke-20, terutama sekali ketika munculnya dua perang dunia, perhatian para ilmuwan pindah ke soal studi tentang propoganda …Seperti seorang pakar Sosiologi Jerman Niklas Luhmann telah memperluas konsep ‘komunikasi’ sebagai bentuk kekuasaan, uang, dan cinta karena melihat banyaknya Kommukationsmedien. [2] Sehingga kontruksi sejarah menjadi sejarah kekuasaan, sejarahnya para pemenang, sejarah yang dituturkan bukan sebagai kontradiksi, tetapi sejarah yang melupakan.[3]

Kehadiran gambar bergerak yang dimulai dari perkembangan sinema[4] dan permulaan era televisi pada tahun 1950an yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kamera video portable pertama oleh Sony pada tahun 1965 telah menciptakan komunikasi visual yang dapat bergerak secara massal.

Tak heran sebuah representasi visual dalam hal ini terletak pada eksistensi media massa berada di bawah kontrol propaganda politik oleh para hegemonian, membentuk kebudayaan global dalam persepsi tunggal. Seperti pemerintahan fasis Mussolini di Italia, pemerintahan komunis Lenin di Rusia. Dan Hitler yang menyebarluaskan pemberitaan tentang pembunuhan massal terhadap etnis Yahudi yang diistilahkan dengan Holocaust.

Bagaimana dengan Indonesia ? Berawal dari pembahasan mengenai medium video yang lahir dari perkembangan teknologi media massa, yaitu televisi. Forum Lenteng dalam bukunya berjudul VIDEOBASE menandai praktik perkembangan penggunaan medium video yang juga diawali oleh politik kekuasaan ke dalam dua periode, yaitu masa analog dan masa digital.

A.     Masa Analog

  • Sejarah berdirinya TVRI

Periode perkembangan video pada masa analog dimulai sejak berdirinya TVRI (pada masa Orla) hingga runtuhnya kekuasaan Orba. Keduanya memiliki starategi politik yang berbeda. Sebelum pada masa Orba, sejarah berdirinya TVRI menjadi salah satu proyek ambisius kekuasaan otoriter Orde Lama. Atas perintah Presiden Soekarno pada tahun 1961 Pemerintahan memutuskan memasukan proyek media massa televisi sebagai bagian dalam proyek pembangunan persiapan Asian Games IV di Jakarta. Kebijakan politis yang diambil Presiden Soekarno sebenarnya lebih menginginkan negerinya tidak disebut terbelakang dan ketinggalan zaman oleh negara luar.

Pada 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No.20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T).  Pada 23 Oktober 1961,  Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina untuk keperluan berobat karena menderita penyakit kencing batu, mengirim teleteks kepada Menteri Penerangan waktu itu, Maladi, untuk segera menyiapkan proyek televisi dengan jadwal sebagai berikut :

  •  Membangun studio di eks AKPEN (Akademi Penerangan) di Senayan.
  • Membangun 2 pemancar berkekuatan 100 watt dan 10.000 watt dengan menara setinggi 80 meter.
  • Mempersiapkan software (program dan tenaga)

24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Senayan, pukul 14.30 wib. Pada 17 Agustus 1962 dalam peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-17 TVRI sudah mengudara sebagai siaran percobaan dari halaman Istana Merdeka, dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt, jangkauan siaran ini masih terbatas. 12 November 1962 TVRI mulai mengudara secara reguler. Pada 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No.215/1963 tentang pembentukan Yayasan Televisi Republik Indonesia dengan pimpinan umum Presiden RI.

Pada November 1963,  GANEFO (Games of the New Emerging Forces)  merupakan bentuk kemarahan Presiden Soekarno terhadap Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang telah melakukan diskors pada Indonesia dari olimpiade Tokyo tahun 1964. Hal ini disebabkan oleh keputusan Soekarno yang tidak mengundang tim dari Israel dan Taiwan pada Asian Game IV dengan alasan menghormati negara-negara Arab dan Republik Rakyat Cina. Sehingga KOI mengambil tindakan tersebut karena Taiwan dan Israel adalah anggota resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kemudian Presiden Soekarno memilih untuk keluar dari keanggotaan KOI dan menuduh KOI sebagai antek imperialisme.

Meskipun GANEFO diboikot oleh negara-negara dari blok Barat. Dengan semboyan yang diberikan Presiden Soekarno: “Maju Terus Jangan Mundur” olimpiade tandingan yang mendatangkan 2.200 atlet dapat berlangsung sukses. Kesuksesan yang dicapai tidak lepas dari peran TVRI.

17 Agustus 1965, bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-20, TVRI membuat stasiun di daerah yang dimulai di Yogyakarta.

  • pesan-untuk-pemirsaOrde Baru

Sebenarnya kehadiran video di Indonesia tidak begitu tertinggal dari negara maju (Eropa dan Amerika Serikat). Hanya saja kehadiran ledakan televisi dan kuasa media di ranah publik di Eropa dan Amerika Serikat, diikuti oleh kemunculan gerakan Pop Art, Fluxus, Video Art sebagai kritik terhadap dominasi ini yang tidak terjadi di Indonesia.

Setelah 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto sebagai Presiden. TVRI perlahan berubah menjadi alat komunikasi pemerintahan Orde Baru. Pengaturan format siaran TVRI sebagai media pendidikan, hiburan, kontrol sosial, informasi berdasarkan dominasi terhadap persepsi tunggal kekuasaan, yaitu pemerintahan Orde Baru yang menyeragamkan pikiran masyarakat tentang media massa itu sendiri. Dan diawasi langsung oleh Departemen Penerangan.

8 Juli 1976, Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa diluncurkan dari Tanjung Kennedy, Florida, Amerika Serikat pada pukul 06.00 waktu setempat atau 9 Juli 1976 sekitar pukul 07.00 wib. Satelit Palapa dipesan oleh pemerintah Republik Indonesia dari Hughes Aircraft Company di El Segundo, California. Dari situ, satelit dibawa ke Cape Canaveral (Tanjung Kennedy) untuk diluncurkan. Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan SKSD setelah Amerika Serikat dan Kanada.

Nama “Palapa” diberikan Presiden Soeharto pada Juli 1975. Pemberian nama ini diilhami oleh sumpah Mahapatih Gajah Mada, dikenal dengan Amukti Palapa, yang bercita-cita untuk menyatukan Nusantara di bawah kerajaan itu.

Satelit Palapa merupakan politik centralisasi kekuasaan Orde Baru dalam penyebaran persepsi tunggal kepada masyarakat secara massal. Seperti pemberian nama “Palapa” Presiden Soeharto tampak secara sadar untuk menyatukan Indonesia dibawah satu kendali kekuasaan Orde Baru yang dipimpinnya. Tak hayal, upaya yang dilakukan adalah untuk menghipnotis warganya menjadi masyarakat pasif.

TVRI sebagai media pendidikan dan hiburan tidak begitu mendominasi, hanya sebagai bayang-bayang terhadap kontrol sosial dan penyebaran informasi tentang pemerintah. Bentuk siaran TVRI lebih sering menyuguhkan pidato, penandatanganan perjanjian, dan tayangan-tayangan resmi dari pemerintahan berkuasa yang disiarkan pada jam-jam utama. Selama lebih dari 32 tahun, perspektif kebenaran disesuaikan dengan pandangan penguasa.

Sejak tahun 1985 filem Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer pada tahun 1984 (19 tahun setelah peristiwanya terjadi), menjadi tayangan wajib di setiap tahunnya di TVRI.  Televisi swasta yang belakangan hadir sejak tahun 1989 juga diwajibkan untuk melakukan rilei hingga 1997-saat rezim Orde Baru di ambang keruntuhan. Rezim Orde Baru mewajibkan seluruh warganya menonton dan mempercayai versi tunggal peristiwa Gerakan 30 September 1965 terhadap filem Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat atas pesanan Pusat Produksi Film Negara (PPFN).

Rezim Orde Baru juga memberikan tekanan terhadap dunia pers.  Sebuah anggapan dari pemerintahan Orde Baru, kalau pers Indonesia pada saat itu adalah pers Pancasila diberi sebuah kebebasan dan bertanggungjawab hanyalah isapan belaka. Karena pada kenyataannya semua insan pers dilarang keras oleh Departemen Penerangan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintahan. Apabila ingin tetap terbit, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan.

 Sistem Siaran Televisi Indonesia: PAL

Pertarungan politik: Usaha terkahir untuk menyatukan sistem-sistem TV-Berwarna itu telah diselenggarakan di Oslo, Norwegia pada tanggal 1 Juli 1966. Dari 75 Negara yang hadir :

  • 8 memilih NTSC-sistem Amerika Serikat, National Television System Committe (a.l. AS, Jepang).
  • 17 memihak PAL-sistem Jerman Barat, Phase Alternative Line (a.l. Jerman Barat dan Belanda).
  • 37 (yaitu 59,7%) memilih SECAM-sistem Prancis, Sequentiel Couleur a Memoire (a.l. Uni Soviet).
  • 13 telah abstain (a.l. Italia).

Koninklijke Philips Electronics Electronics N.V (Royal Philips Electronics Inc.), yang juga dikenal dengan Philips, merupakan salah satu dari perusahaan elektronik besar dunia, yang didirikan dan bermakas di Belanda. Untuk pertama kalinya Philips-sebuah unit televisi berwarna dipamerkan di Gedung Bina Graha pada pertengahan Maret 1971. Pameran tersebut dimaksudkan sebagai percobaan TV berwarna di Jakarta.

Tanpa disadari atau tidak, tahun 1971 Indonesia telah mengukuhkan sistem PAL pada siaran televisi analog. Hali ini lebih dilandasi pada hubungan kerjasama negara Indonesia dengan Jerman Barat dan Belanda dalam Mass-Media sangat erat dan terus meningkat. Kerjasama ini didukung/dikontrol oleh Kapital Jerman dan Belanda, yang kebetulan memegang kekuasaan royalties PAL.

Kekhawatiran Rezim Orde Baru Terhadap Kehadiran Teknologi Video

Kehadiran peranti pemutar video merek AKAI pada kolom iklan di koran Sinar Harapan, 5 Januari 1974 yang beredar secara bebas dan mulai masuk ke rumah-rumah kelas tertentu telah “cukup” menggoyangkan persepsi tontonan di masyarakat. Dominasi TVRI sebagai satu-satunya tontonan menjadi terancam, sehingga memberikan sebuah kekhawatiran penguasa Orde Baru. Selain itu juga terpampang iklan kamera video, tapi tidak terdapat informasi apakah kamera video itu memakai memakai sistem warna atau tidak. Namun dalam iklan tersebut dibentuk satu persepsi “Kamera video lebih praktis, bermanfaat, menyenangkan dan murah.”

Pada harian Kompas, Desember 1981, terpampang sebuah iklan tentang kecanggihan teknologi sistem video portabel, kaset video rekam warna, pemutaran balik instan, dengan teks iklan: “Kini Anda sekeluarga menjadi bintang film”. Teks ini seakan mengungkapkan: Pencapaian prestasi tertinggi dalam kehidupan personal, terutama bagi orang-orang Indonesia adalah menjadi bintang filem. Dan yang ingin ditunjukkan dari teks tersebut bagaimana teknologi video telah menelusup ke ruang-ruang intim dalam masyarakat.

Kekhawatiran Orde Baru atas hadirnya teknologi video. Pemerintah tidak berupaya memberdayakan masyarakat dengan membuat penyuluhan untuk lebih produktif dan kreatif dalam penggunaan medium video. Tapi pemerintah malah menghambat peredaran video di tengah masyarakat, lewat komentar di media massa kalau kehadiran teknologi  video dianggap sebagai kerusakan moral, norma sosial. Video diperdebatkan dalam konteks pelarangan dan ketakutan-ketakutan.

Setelah Pemerintah membangun satu pradigma baru akan dampak buruk kehadiran teknologi video. Pemerintah merasa perlu untuk mengatur peredaran video. Pada 7-10 Desember 1981, Departemen Penerangan memerintahkan Dewan Film Nasional untuk melakukan Seminar Pengelolaan Teknologi Video. Dalam hali ini merekomendasikan agar pemerintah membuat Aturan Pengelolaan Video dan Distribusinya.

Seiring pengaturan pengelolaan video dan distribusinya, seperti: melakukan sensor atas tampilan, regulasi pajak tontonan dan perjualbelian kaset video, sampai penentuan warna kaset untuk mencegah pembajakan. Kehadiran teknologi video telah membentuk dan memberikan sebuah tantangan dalam peredaran video di tengah masyarakat:

  • Membentuk sebuah era baru kehidupan: dimana setiap orang, setiap keluarga, setiap bagian dari masyarakat suatu negara, mampu mengabdikan setiap momen, baik dianggap penting/ biasa, dengan begitu mudahnya. (video telah menjadi proses pencatatan sejarah)
  • Menjadi suatu tantangan atas dominasi filem melalui teknologi seluloidnya.
  • Memberikan sebuah tantangan terhadap persepsi visual masyarakat waktu itu.
  • Membentuk eforia publik terhadap kamera video dalam kenyataan sehari-hari masyarakat, tidak hanya tinggal di perkotaan, melainkan juga yang tinggal di pedesaan.

Representasi Iklan di TVRI terhadap kekuasaan

Pada tahun 1973, perusahaan swasta mulai memandang pentingnya penggunaan medium iklan gambar bergerak. Sekitar 3.000 macam produk primer (termasuk juga barang-barang mewah) dipromosikan lewat TVRI. Iklan peralatan rumahtangga dan obat-obatan mendominasi acara siaran niaga I, yang ditayangkan pukul 18.30-19.00 dan siaran niaga II, yang ditayangkan pukul 20.30-21.00.

Pada tahun anggaran 1980/1981, TVRI kebanjiran iklan, bahkan pendapatan iklan ditaksir mencapai Rp.20 miliar. Akan tetapi dari sisi politik kekuasaan, penayangan iklan-iklan di TVRI dinilai membahayakan, sebab bahasa iklan yang informatif dan mudah dicerna karena dimungkinkan pula secara visual begitu akrab dengan masyarakat. Penguasa Orde Baru mengkhawatirkan runtuhnya politik representasi informasi visual resmi pemerintahan yang terpecah oleh representasi iklan di TVRI.

Pada tahun 1981 Presiden Soeharto mengambil keputusan menghapus iklan visual bergerak di TVRI. Dengan alasan “Untuk mengurangi gaya hidup konsumerisme” (Tempo, 17 Januari 1981) secara resmi pada presentasi Nota Keuangan dan RAPBN 1981/1982 di DPR, 5 Januari 1981. Dus, tertanggal 1 April 1981, siaran iklan di TVRI ditiadakan.

Sedikit terasa aneh, jika memang representasi iklan di TVRI akan menjadi kekhawatiran Orde Baru yang kemudian dihapuskan. Kenapa perusahaan swasta dengan mudah untuk mengiklankan produknya. Padahal TVRI berada dalam pengawasan penuh oleh Departemen Penerangan. Dan Presiden Soeharto tidak mungkin lengah dengan hal seperti itu. Atau inikah bentuk permainan politik kekuasaan Orde Baru dengan para pemodal.

anatomi-tvB.      Masa Digital

Masa digital merupakan periode masa demokrasi dan perubahan masyarakat dalam mengapresiasi teknologi digital. Menjelang era reformasi, peran internet yang telah membuka ruang untuk aktifitas politik warga sipil sudah berada di luar kontrol negara dan meluasnya penyebaran teknologi video (video, komputer, internet hardware, software, dan short message service/ SMS) dengan sangat mudah dapat diakses oleh masyarakat telah menjadi bagian penting atas keruntuhan rezim Orde Baru.

Munculnya gerakan-gerakan Pro -Demokrasi

Berawal dari isu soal media, beberapa kelompok gerakan Pro-Demokrasi telah terbentuk pada tahun 1991, seperti Forum Diskusi yang dipimpin oleh Abdurrachman Wahid sebagai protes atas penutupan tabloid Monitor dan pemenjaraan Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi Monitor. [5]

Memasuki  tahun 1994 kelompok gerakan Pro Demokrasi semakin bertambah seperti Solidaritas Indonesia untuk Pembebasan Pers (SIUPP), Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) DAN Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai respon dari penutupan tiga mingguan Tempo, Detik, dan Editor. Mereka sangat gencar mengkampanyekan debat seputar masalah media dan hak kebebasan berbicara. [6]

Mendekati keruntuhan rezim Orde Baru, berita televisi swasta Indonesia secara serentak dan berulang-ulang menayangkan video tentang penembakan empat mahasiswa Trisakti: Elang Mulia Lemana (jur.  Arsitektur angkatan 1996), Hafidin Royan (jur. Teknik Sipil angkatan 1996), Hendriawan (jur. Manajemen angkatan 1996), dan Heri Hartanto (jur. Teknik Mesin angkatan 1996) pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu bukan hanya kemarahan publik, tapi berdampak langsung pada pengerahan aksi protes ribuan mahasiswa yang menuntut turunnya rezim Orde Baru di beberapa kota besar di Indonesia, adalah salah satu bentuk potensi kekuatan teknologi video dalam memobilisasi massa gerakan Pro-Demokrasi.

Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 10:00 pagi di ruang upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruang kredensial, Presiden Soeharto menyampaikan pidato ‘Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia’. [7]

Ruang privat masyarakat

Masyarakat sosial di tingkat global mengalami perubahan yang luar biasa seiring dengan meningkatnya intensitas komunikasi lewat perkembangan teknologi digital. Video sudah menjadi sesuatu yang dekat dengan masyarakat. Video dimanfaatkan untuk menangkap peristiwa yang mereka lihat.

Kamera video digital dapat difungsikan sebagai “teknologi personal” yang memungkinkan pengguna untuk mengaplikasikan “asas pemakaian yang otonom” yang memungkinkan individu memiliki kendali penuh atas konten yang dilakukan. Seperti: Dalam rumahtangga video digunakan untuk merekam perkembangan anak sejak bayi, pernikahan, ulangtahun, sunatan. Bahkan di pelosok dusun, video digunakan untuk bisnis jasa rekam berbagai hajatan. Artis kampung sukses menyatroni kota-kota besar berkat rekaman video dari aksi goyang mereka di pentas tingkat RW.

Saat peristiwa tsunami di Aceh dan Nias pada Desember 2004, seorang warga yang pada waktu itu punya kamera video, berhasil merekam peristiwa tersebut dari lantai dua rumah keluarganya. Gambar yang terekam tanpa perencanaan, menjadi pemberitaan utama di stasiun televisi di Jakarta.

Maret 2011, seorang anggota Brimob Gorontalo Norman merekam dirinya sendiri saat sedang piket menggunakan kamera ponsel miliknya kemudian mendendangkan lagu India berjudul “Chaiyya, Chaiyya” yang dinyanyikan Shahrukh Khan dalam filem Dil Se tahun 1998 dengan sangat ekpresif. Pada 19 maret 2011 video tersebut diposting di youtube oleh user bernama Ivhalmarley. Saat detik.com berkunjung di laman ini, 03 April 2011, sudah 5.600 pemakai internet merasa terhibur dan memberikan pujian setelah menontonnya.  Tak hayal, banyak produser mentaksir Norman untuk jadi model iklan dan bermain filem.

Sebelum video tersebut tersebar di jejaring sosial, Norman bukanlah siapa-siapa, ia hanya dikenal oleh orang-orang terdekatnya saja sebagai seorang anggota brimob. Tapi sekarang namanya telah masuk dalam tataran Selebritis dan seluruh masyarakat Indonesia mengenal siapa Norman.

Terkonsep atau tidak, apa yang dilakukan Norman, pada era digital saat sekarang semua orang dapat melakukannya. Persebaran video lewat internet seperti youtube, vimeo, telah menyempurnakan teks iklan pada masa Orde Baru yang terbaca; “Kini Anda sekeluarga menjadi bintang film”.

Hegemoni Media Massa

Berakhirnya Orde Baru, hegomoni media massa (televisi swasta) mulai ditentukan oleh kepentingan pemodal dalam penyebaran informasi. Dapat kita lihat pada dekade sekarang. Salah satu contohnya: Dalam pemberitaan Metro TV, Suryo Paloh sebagai pemilik modal, sewaktu menjadi kandidat Ketua Umum Golkar periode 2009-2014 begitu gencar menayangkan berbagai kegiatannya sebagai politisi partai Golkar. Ketika ia tidak terpilih. Berita-berita tentang pencitraan Golkar mulai dihentikan. Suryo Paloh membentuk persepsi baru terhadap dirinya. Semua kegiatannya di Nasional Demokrat tampak sangat politis mendominasi durasi tayang di Metro TV.

Kekuatan ilusif gambar bergerak membuat masyarakat tidak lagi mampu membedakan kenyataan dan fiksi. Iklan video di televisi pada era digital menjadi semacam representasi pernyataan politik dalam keriuhan eforia publik. Jika pada masa Orde Baru, iklan video dihapuskan karena dianggap merugikan indentitas semangat pembangunan. Pada kampanye pemilu 2009, partai-partai politik secara sadar menggunakan kekuatan gambar bergerak dan suara dalam menggiring persepsi masyarakat untuk memilih partai mereka.

Bahkan melalui iklan video, citra seseorang yang dulunya dianggap buruk meningkat ke semacam status pahlawan. Sebut saja Wiranto, Prabowo ––masyarakat dibuat lupa akan sisi gelap mereka pada masa Orde Baru, seperti keterlibatannya dalam tragedi Trisakti yang sampai sekarang masih belum terungkap. Pencitraan itu dibangun sedemikian rupa pada saat mereka menjadi calon Presiden dalam pemilu 2009. Wiranto bersama partai barunya bernama ‘Hati Nurani Rakyat’ mengantarkannya untuk mendampingi Jusuf Kala dengan moto ‘lebih cepat lebih baik’.

Prabowo bersama partai Gerinda yang mendamping Megawati dengan konsep ekonomi kerakyatan. Meskipun tujuh judul iklan yang dibuat, yaitu  Harga, Bangkrut, Mencintai, Persatuan, Maju, Tim dan Pekerjaan, tidak semuanya yang diterima oleh stasiun televisi …Tapi iklan berjudul “Harga” bisa ditayangkan di Indosiar dan Metro TV. Namun iklan “Bangkrut” hanya bisa ditayangkan di Indosiar.[8] Dengan sangat berani iklan tesebut mengkritik pemerintahan SBY yang kemudian membuat masyarakat Indonesia seolah-olah membutuhkan dirinya untuk melakukan sebuah perubahan terhadap Indonesia.

Bagaimana dengan SBY sendiri ? Lewat representasi iklannya berjudul “Indomie Seleraku, SBY Presidenku” dan diakhiri dengan kata ‘Lanjutkan!’dalam kampanyenya untuk kembali menjadi Presiden periode 2009-2014. Maysarakat Indonesia diminta percaya terhadap SBY untuk tetap menjadi Presiden, dan mengaburkan tentang kebohongan publik SBY. Sehingga masyarakat dibujuk untuk melupakannya.

Seperti yang diuraikan kembali oleh M.Mufti Mubarok –Direktur Institute For Development and Economic –kebohongan publik SBY sewaktu menjadi Presiden periode 2004-2009 adalah [9]

  • Membebani rakyat melalui pemotongan subsidi BBM.
  • Kemiskinan dan pengangguran meningkat.
  • Terjadinya pembunuhan aktivis HAM Munir.
  • Pembohongan publik via pidato kenegaraan Presiden SBY pada HUT Kemerdekaan RI 2006 di gedung DPR/MPR.
  • Tebang pilih dalam memberantas korupsi
  • Mengorbankan rakyat via kebijakan impor beras.
  • Menyelesaikan konflik Aceh via MoU Helsinki 12-8-2005
  • Konsultasi politik pemerintah-DPR untuk mengakhiri rencana interpelasi nuklir Iran.
  • Kelambanan penanganan kasus korban lupur Lapindo.

Video Komunitas

Penyebaran video komunitas pasca 98 di Indonesia melibatkan individu maupun kelompok dengan latar belakang sosial, ideologi gerakan, metode pendekatan, pola, dan wilayah intervensi serta sasaran perubahan yang berbeda.

Pemetaan video komunitas dari tahun 1998-2008 yang dilakukan oleh KUNCI dan EngageMedia dalam bukunya VIDEOKRONIK telah megidentifikasi dengan pendekatan utama dalam pergerakan video di Indonesia:

  • Komunitas Video Akar-rumput

Pergerakan komunitas akar-rumput dalam rangka perubahan sosial dengan menggunakan teknologi video, kelompok-kelmpok ini menjalankan program pelatihan pembuatan video untuk anggota komunitas, melakukan fasilitasi sarana dan pendukung produksi serta menyelenggarakan kegiatan sosialisasi karya video yang dihasilkan.

Berbasis di Yogyakarta, Kampung Halaman yang dibentuk pada tahun 2006 bekerja dengan metode video partisipatoris untuk anak muda yang hidup di wilayah transisi (istilah “transisi” merujuk pada wilayah yang beralokasi di antara perkotaan atau yang warganya tengah mengalami perubahan sosial ekonomi.

Etnoreflika, beraktifitas di Yogyakarta, didirikan oleh para lulusan jurusan antropologi Universitas Gajah Mada sebagai lembaga yang mau mempopulerkan penggunaan “Kamera untuk Rakyat” di kalangan komunitas marjinal.

Kawanusa bekerja dengan enam komunitas pedesaan di Bali, berdiri pada tahun 2004 oleh Yoga Atmaja. Komunitas terakhir yaitu, Ragam dibentuk dengan inisiatif sutradara film dokumenter Aryo Danusiri untuk mempromosikan video sebagai media bagi dialog lintas budaya bagi komunitas adat.

  • Komunitas Video Taktis

Komunitas yang menempuh langkah taktis dalam membuat dan mengedarkan pesan-pesan audiovisualnya. Kata “taktis” merujuk pada kelenturan setiap komunitas dalam menggunakan format video (dokumenter, rekaman investigasi, gambar mentah, video musik) ragam pilihan isu yang mereka angkat (perusakan lingkungan, pelanggaran  hak azazi manusia, ketidakadilan gender, konflik kelas, kekerasan antaretnis, kemiskinan, demonstrasi, dan cara mengedarkan: lewat kampanye politis, youtube, DailyMotion, DVD, dll.)

Offstream yang dibentuk Lexy J.Rambadeta memproduksi video dokumenter, Komunitas Perfilman Intertekstual (KoPI) yang berbasis di Bandung dan juga bekerja dengan dokumenter. Fendry Ponomban dan Rahung Nasution membangun Jaringan Video Independen (JAVIN), Maruli Sihombing yang aktif di Urban Poor Consortium (UPC) dan Gekko Studio, di Bogor yang secara khusus terfokus pada isu-isu lingkungan.

  • Komunitas Eksperimentasi Video

Komunikasi eksprementasi video melakukan eksplorasi teknologi dan pencitraan video sebagai  sarana untuk mendorong perubahan relasi antara audiens, pencipta, dan media. Dengan muatan yang kreatif eksprementasi yang dilakukan untuk merespon isu-isu sosial yang berkembang di ranah keseharian dan melampaui batasan historis antara media, seni, dan masyarakat.

Ruangrupa, berbasis di Jakarta yang didirikan awal tahun 2000an oleh Ade Darmawan, Hafiz, Ronny Agustinus, Oky Arfie Hutabarat, Lilia Nursita, dan Rithmi, selain menyediakan ruang alternatif tapi juga merancang mekanisme untuk mengaitkan praktik video lewat wacana seni rupa. VideoBabes didirikan oleh Ariani Darmawan, Prilla Tania, dan Rani Ravenina, tiga seniman video perempuan yang tinggal di Bandung terfokus dalam merespon minimnya infrastruktur dengan memfasilitasi program pemutaran video reguler dengan tema-tema spesifik sambil membuka ruang diskusi dan apresiasi.

Importal beraktifitas di Semarang, Jawa Tengah membuat ruang alternatif bagi seni visual kontemporer untuk publik, termasuk video. Forum Lenteng yang didirikan oleh Hafiz pada tahun 2003 di Jakarta melakukan eksperimentasi dengan bahasa medium video melalui pengembangan metode penelitian bersama dan pelibatan komunitas lokal di beberapa kota di Indonesia dalam produksi informasi melalu proyek seperti akumassa.

Pergerakan video komunitas yang dilakukan secara mandiri adalah sebuah upaya untuk melawan arus utama terhadap persebaran informasi yang sekarang didominasi oleh hegemoni media massa dan merekam sejarah kini dari perspektif masyarakat sendiri sebagai media alternatif. Sehingga kontruksi sejarah tidak lagi menjadi sejarah kekuasaan.

videobase videokronik

***

  1. Wawancara Jurnalfootage dengan Jean-Gabriel Periot, ‘Paling baik, kita bisa mendapati film yang menginterogasi dunia’ (http://www.jurnalfootage.net/v2/en/profile/305-paling-baik-kita-bisa-mendapati-film-yang-menginterogasi-dunia.html) diakses pada tanggal 24 mei 2011 pukul 17.05 wib
  2. Asa Briggs& Peter Burke, ‘Sejarah Sosial Media’dalam terjemahan A. Rahman Zainuddin (Jakarta, 2006), pp. 1-2
  3. Wawancara Jurnalfootage dengan Jean-Gabriel Periot, ‘Paling baik, kita bisa mendapati film yang menginterogasi dunia’ (http://www.jurnalfootage.net/v2/en/profile/305-paling-baik-kita-bisa-mendapati-film-yang-menginterogasi-dunia.html) diakses pada tanggal 24 mei 2011 pukul 17.05 wib
  4. Kenapa harus dimulai dari ‘perkembangan sinema’ karena para pionir pencipta Sinema, seperti Muybridge, Marey, Edison, Niepce, Joly, Demeny, Louis Lumiere, E.Reynaud, dan Bernad Palissy –sinema masih sebatas hasrat mereka terhadap imajinasinya sendiri. Jika sinema lahir, itu adalah hasil kovergensi dari berbagai obsesi mereka: artinya dari sebuah mite, yaitu mite tentang sinema total. Belum dipergunakan sebagai alat propaganda kekuasaan.  (baca Andre Bazin, ‘Sinema Apakah Itu?’ dalam terjemahan Rahayu S. Hidayat (Jakarta, 1996), bab 2 ‘Mitos Sinema Total’)
  5. Philip Kitley, ‘Kontruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca ‘ dalam terjemahan Bambang Agung, Yulia Diniastuti, Rizadini (Jakarta, 2001), p. xv
  6. idem
  7. http://www.soehartocenter.com/biografi/biografi/e-ti/index.shtml diakses pada tanggal 25 mei 2011 pukul 19.20 wib
  8. Enda, ‘Iklan-Iklan Mega-Prabowo yang Ditolak Stasiun TV Itu’ (http://politikana.com/baca/2009/06/18/iklan-iklan-mega-prabowo-yang-ditolak-stasiun-tv-itu.html) diakses pada tanggal 25 mei 2011 pukul 20.00 wib
  9. M. Mufti Mubarok, ‘Pak Esbeye Kebohongannya & Membongkar Kebohongan Publik SBY dan Demokrat’ (Surabaya, 2011) p. 50

Tinggalkan komentar